Sejarah

SEJARAH TERBENTUKNYA KOTA SAMUDA

PENDAHULUAN

Meski hampir setiap orang Samuda tahun apa itu Samuda secara harfiah, Namun tidak semua orang bisa secara sempurna menjelaskan tentang apa dan bagaimana Samuda secara geografis maupun administratif. Jika Samuda diinterprestasikan sebagai sebuah Kecamatan, maka secara geografis maupun secara administratif wilayah samuda tidak lain adalah wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan sekarang ini. Karena cikal bakal Samuda itu sendiri lahir dari sebuah wilayah yang sekarang dikenal dengan Basirih Hilir.

Dilain pihak, masyarakat sangat sering mendengar atau membicarakan tentang “Pahlawan Samuda” atau “Pejuang Samuda”, “Kelapa Samuda” bahkan sekarang sangat terkenal dengan “Walet Samuda” yang merupakan salah satu kualitas sarang Walet  tertinggi di dunia. Kronologis historis yang mengiringi terbentuknya serta keberadaan Kota Samuda itu sendiri memiliki keunikan tersendiri sehingga membuat istilah “Samuda” menjadi sangat unik.

PERKAMPUNGAN TERTUA DI SAMUDA

Ada beberapa asumsi dimana letak perkampungan tertua di Samuda, karena setiap asumsi tersebut diambil hanya sebatas dari sudut pandang masing-masing.

Berdasarkan beberapa fakta sejarah maupun penuturan tokoh-tokoh masyarakat   Samuda, perkampungan tertua diwilayah muara sungai mentaya adalah terletak di Desa Basirih Hulu, dimana dulunya hanya dikenal dengan sebutan Basirih, Nama basirih diberikan oleh para pendatang yang kebanyakan dari  kampung Basirih dan Alalak, yaitu perkampungan terletak didaerah muara sungai Barito Kalimantan Selatan. 

Pendatang dari  Basirih dan Alalak diperkirakan mulai memasuki dan bermukim di muara sungai  Mentaya sekitar tahun 1750 an. Beberapa tahun kemudian para pendatang tersebut juga membentuk pemukiman baru didaerah anak sungai  bagian muara yang dikenal sekarang dengan nama  sungai Ijum, Samuda besar dan Samuda Kecil. Sedangkan sebagian ada yang membuka pemukiman di daerah “seberang” yang kemudian dikenal dengan nama “Bapinang”

MUNCULNYA SEBUTAN SAMUDA

Karena semakin banyaknya pendatang, baik dari daerah Kerajaan Banjar maupun para pedagang dari pulau lain seperti dari Jawa, Sulawesih. Maka pada seperampat abad kemudian wilayah pemukiman pun semakin meluas sehingga terbentuk pemukiman baru  yang terbentang dari muara anak sungai Jejangkit  hingga kearah hilir (selatan) sungai Mentaya sampai didaerah muara anak sungai Sepihan  . Dengan terbentuknya pemukiman baru tersebut, masyarakat  ayak  yang merupakan penduduk asli yang banyak bermukim didaerah hulu sungai mentaya , menamakannya  dengan sebutan “lebu Taheta” atau “Lewu Taheta”  yang berarti “kampung baru terbentuk”. Orang pendatang dari Kalimantan Selatan atau Kerajaan Banjar menyebutnya “Kampung Baru”.

Karena  letaknya sangat strategis, Kampng baru menjadi daerah pertemuan antara  para pedagang, baik dari  pedagang dari wilayah Kerajaan Banjar (Banjarmasin) dan dari Sulawesi yang membawa beras, gula, ikan asin dan produk rumah tangga, maupun tempat pertemuan dari  masyarakat lokal yang berasal dari  “serang” sekarang Bapinang, dan dari anak sungai lainya seperti dari Sei Ijum, Samuda Besar, dan Samuda Kecil yang menjaual hasil pertanian dan perkebunan seperti buah kelapa, buah-buahan, dan sayur mayur serta ikan sungai. Karena ramainya transaksi perdagangan yang dilakukan di wilayah  Kampung Baru tersebut, berbagai bahan kebutuhan  pokok masyarakat pada waktu itu didapatkan, mulai dari hasil perkebunan, bahan kebutuhan pokok hingga peralatan rumah tangga , maka masyarakat kemudian menyebutnya sebagai “kampung Serba Ada”.

Oleh Karen Penyebutan “Semua Ada” tersebut dari waktu-kewaktu dan dari mulut ke mulut sangat sering di ucapkan serta mengalami perubahan “dialektika” atau pengucapannya, yang diikuti pula dengan pergesaran makna, dari hanya sekedar “ungkapan” menjadi sebuah “sebutan” maka kata  “semua ada” akhirnya diucapkan dengan satu suku kata yaitu “Samuda”.

Dalam perkembangannya kemudian, secara geografis makna penyebutan “Samuda”  tidak lagi ditujukan terhadap sebatas daerah pemukiman  yang tadinya dikenal “Kampung Baru”. Namun bagi masyarakat didaerah luar. Baik yang dari Sampit, dari hulu sungai dari Banjarmasin atau pulau Jawa,  sebutan “Samuda” dimaksudkan terhadap semua pemukiman  yang berada di daerah pesisir muara Sungai Mentaya  yang meliputi dari Kalap, Ujung Pandaran dan Bapinang Hingga daerah Utara sampai meliputi daerah sungai  Sampit hingga Sungai Lenggana adalah orang Samuda.

SAMUDA JAMAN PENJAJAHAN.

Sampit  , yang merupakan pusat perdagangan wilayah Kalimantan Tengah dikuasai oleh Belanda pada sekitar tahun 1820 an, yaitu setelah adanya “Perjanjian Karang Intan” sebagai akibat dari kekalahan Pihak Kerajaan Banjar Pimpinan Pengeran Suriansyah dari Belanda dalam perang Banjar pada tahun 1870, dimana salah satu isinya adalah kerajaan Banjar harus menyerahkan Wilayah Kalimantan Tengah kepada Belanda. Sebelumnya Belanda melalui kongsi dagang yang benam VOC sudah terlebih dahulu  mengambil alih /Monopoli perdagangan wilayah Kalimantan Tengah sejak tahun 1737.

Setelah menguasai wilayah Kalimantan Tengah, pada sekitar tahun 1980 an Belanjda mulai memperluas wilayah administrasi dengan membentuk daerah Kabupaten Kotawaringin  dan menetapkan Sampit sebagai ibukotanya. Kabupaten Kotawaringin tersebut terdiri dari 3 (tiga) Kewedanaan , yaitu kewedanaan Sampit Barat, dengan ibu Kota Sampit yang wilayahnya meliputi Samuda, Hanau, Tumbang Majul dan Kuala Pembuang. Kemudian Kewedanaan Sampit Timur dengan ibukota Kasongan yang meliputi daerah Pagatan dan Katingan Hilir, kewedanaan Sampit utara yang meliputi darah Kuala Kuayan dengan ibukota Kuala Kuayan, serta satu Swapraja yang setingkat kewedanaan dengan Ibukota Pangkalanbun. Sedangkan Kepala Darah Kotawaringin dijabat oleh seorang Bupati yang bernama Mansyah.    

Seiring dengan adanya pemekaran wilayah tersebut, Pemerintah Belanda mulai membangun fasilitas-fasilitas umum  didaerah Samuda  seperti mendirikan sekolah yang pertama di daerah Basirih (sekarang Basirih Hulu) pada tahun 1980, selanjutnya pada tahun 1900 Belanda membangun lagi 2 (dua) buah sekolah, 1 (Satu) di Basirih (sekarang Jaya Kelapa) dan di Daerah Sepihan (Sekarang Samuda Kota). Serta membangun Pelabuhan Rakyat di Muara Sungai Samuda Besar. Selanjutnya pada tahun 1930  Belanda mendirikan Pelabuhan Permanen didaerah Muara Sepihan yang dikenal dengan sebutan Pelabuhan Samuda.

Masa Pendudukan Jepang

Meski hanya berkuasa ±3,5 Tahun berkuasa di Indonesia, pada tahun 1942 dimasa pendudukan Jepang administrasi Pemerintahan di Kabupaten Kotawaringin tidak banyak mengalami perubahan, karena Jepang pada masa pemerintahannya menerapkan sistem Militer.

Masa Perjuangan Kemerdekaan

Pada tahun 29 Nopember 1945 terjadi pengambil alihan Sampit oleh para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Yang pada saat ini diabdikanpada sebuah nama stadion 29 Nopember Sampit.  Pada tahun 1947 Belanda melakukan pemekaran wilayah Kewedanaan Sampit Barat dengan membentuk Kecamatan Mentaya Tengah dengan wilayah Baamang, Ketapang dan Seranau. Sedangkan Kecamatan Mentaya Hilir Pindah Kedaerah Samuda namun statusnya masih menjadi daerah pembantu kewedanaan. Daerah Sepihan Besar yang sudah menjadi daerah pelabuhan dijadikan sebagai pusat daerah Pembantu Kewedanaan dan dinamakan Samuda Kota.

PASCA PENYERAHAN KEDAULATAN

Setelah Belanda menyerahkan Penuh Kedaulatan  bangsa Indonesia ke tangan Pemerintahan  Republik Indonesia pada tahun 1949. Presiden Ir Soekarno pada tahun 1950 mengangkat Tjilik Riwut sebagai Bupati Pertama Kotawaringin. Dibawah kepemimpinan Tjilik Riwut , daerah Samuda dibagi menjadi dua bagian dimana pada saat itu status Pembantu Kewedanaan Mentaya Hilir dihapus dan kemudian dibagi 2 (dua) Kecamatan, yaitu Kecamatan Mentaya Hilir yang meliputi daerah Basirih hingga sungai Sampit, sebagai camat dijabat oleh Ahmad Syamsu, kecamatan  berikutnya adalah  Kecamatan Jaya Karya yang meliputi Samuda Kota (Sepihan) hingga Ujung Pandaran dan menjabat sebagai camatnya adalah Hanafi Saming.

Bersamaan dengan terbentuknya 2 (dua) kecamatan tersebut Basirih akhirnya dibagi menjadi 2 (dua) Desa. Yaitu basirih Hulu   yang  wilayahnya dari   Kayuara hingga Jejangkit. Dan Basirih Hilir dari perbatasan seia Jejangkit hingga perbatasan Sepihan . Basirih Hilir ditetapkan menjadi Ibu Kota Kecamatan Mentaya Hilir. Sedangkan Samuda Kota menjadi ibu Kota Kecamatan Jaya Karya.

Setelah Pemilu pada tahun 1955, melalui usaha yang dilakukan oleh Ahmad Syamsu Camat Mentaya Hilir yang juga sebagai anggota DPRD tingkat I Kecamatan Mentaya Hilir digabung kembali dengan nama kecamatan Mentaya Hilir Selatan, kemudian Akhmad Syamsu sendiri yang menjadi camat  pada kecamatan baru tersebut, sedangkan Hanafi Saming yang sebelumnya sebagai camat Jaya Karya ditarik sebagai Pegawai Gubernur di Palangkaraya.

Wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan  secara Geografis  membentang dari Ujung Pandaran hingga sungai Sampit. Namun pada saat itu yang dimasukan  secara administratif hanya meliputi Samuda Besar, Samuda Kecil, Samuda Kota,Basirih Hilir, Jaya Kelapa, Basirih Hulu dan Jaya Nenas. Ibu kota Kecamatan ditetapkan Samuda Kota, yang kemudian status ditetapkan sebagai kelurahan,. Seluruh Kantor Instansi dibangun di Samuda Kota termasuk Kantor Polisi dan Kantor Baterpa (Koramil) Kecuali Kantor Dinas Pendidikan yang berada di desa Jaya Kelapa dengan menyewa salah satu rumah warga.

Beberapa tahun Kemudian, tapatnya tahun  1959 Bupati Cilik Riwut menetapkan daerah Sungai Sampit sebagai Kecamatan Mentaya Hilir Utara , wilayah terdiri dari sungai lepeh sampai dengan sungai Lenggana. Kemudian pada tahun 195... didaerah Bapinang  , wilayah  yang berseberangan dengan wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan ditetapkan menjadi Kecamatan dengan nama Kecamatan Pulau Hanaut yang terdiri dari 3 (tiga) desa yaitu desa Bapinang Hulu, Bapinang hilir dan Bapinang Hilir  Laut dengan ibu kota Bapinang Hulu camat yang pertama menjabat sebagai camat di  Kecamatan Pulau Hanaut adalah Rada Inin.

Mengingat adanya 2 Kecamatan yang baru terbentuk yaitu Kecamatan Mentaya Hilir Utara dengan Kecamatan  Pulau Hanaut, yang tentunya masih banyak memiliki kelemahan baik dalam hal administrasi maupun letak geografis pada saat itu sarana transportasi penghubung hanyalah melalui jalur sungai Mentaya  dan pusat kegiatan lebih banyak dilakukan di Samuda, maka dibangunlah sebuah gedung pertemuan untuk 3 (tiga) kecamatan di Desa Basirih Hilir yang diberi nama Gedung Nasional. Oleh karena pemanfaatannya untuk pertemuan jarang sekali di gunakan dan terkesan terbengkalai, oleh camat Syamsu  gedung Nasional kemudian di sewakan kepada seorang pengusaha dari Sampit dan akhirnya  didirikan sebuah bioskop dengan nama “Bioskop Jaya Karya’ pada saat ini lokasi gedung tersebut  adalah bekas Kantor Desa Basirih Hilir sebelum menjadi Kelurahan pada tahun 2009.

(Sumber Inpormasi : MULYADI)

 

 

Please publish modules in offcanvas position.